JAKARTA, IndoBeritaTerkini – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memantau kinerja dari pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan sehubungan dengan pertumbuhan kredit yang cukup tinggi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan (KEPP) OJK Dian Ediana Rae mengatakan, sebagai bentuk mitigasi risiko, perbankan juga telah membentuk CKPN untuk kredit yang baru disalurkan sejalan dengan implementasi PSAK 71.
“Dapat ditambahkan bahwa saat ini risiko kredit masih terjaga yang mana rasio NPL dan LaR masing-masing sebesar 2,21 persen dan 10,11 persen (September 2024) dengan kecenderungan menurun,” kata Dian dalam jawaban tertulis konferensi pers RDKB Oktober 2024, Kamis (14/11/2024).
Menurut Dian, permodalan perbankan juga masih memadai sebagai bantalan untuk memitigasi risiko yang mungkin muncul, dengan CAR sebesar 26,85 persen per September 2024.
Potensi adanya kredit macet di tahun-tahun mendatang berdasarkan tantangan pertumbuhan kredit yang cukup tinggi. Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi hingga mencapai di atas 20 persen sebelum tahun 2013 dipengaruhi oleh berbagai faktor utamanya quantitative easing oleh The Fed, lonjakan harga komoditas, dan juga basis data kredit yang lebih rendah pada masa tersebut.
Pemangkasan Fed Fund Rate (FFR) antara 2009 hingga 2015 menjadi hanya sebesar 0-0,25 persen, menyebabkan capital inflow yang besar ke emerging market (EM) termasuk Indonesia. Hal ini juga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga menjadi di atas 6 persen utamanya di 2010.
“Tingginya pertumbuhan ekonomi dan foreign capital inflow juga mempengaruhi meningkatnya pertumbuhan simpanan perbankan yang disertai dengan peningkatan permintaan kredit, sehingga pertumbuhan kredit perbankan mencapai hingga 20 persen,” jelas Dian.
Saat ini, lanjut Dian, sebagian besar bank sentral di dunia masih mempertahankan suku bunganya cukup tinggi akibat ketidakpastian yang masih cukup tinggi dari tensi geopolitik, kondisi ekonomi global, pemilu AS, dan lain-lain.
“Meskipun sudah ada perubahan arah kebijakan moneter menjadi lebih dovish (ke arah easing monetary policy), namun investor masih lebih memilih untuk menempatkan dananya pada instrumen yang relatif aman seperti US treasury dan komoditas emas, sehingga kondisi likuiditas global juga masih terbatas,” ujar Dian.
Selain itu, upaya mendorong pertumbuhan kredit melalui komoditas seperti dulu semakin sulit untuk dilakukan seiring dengan regulasi yang semakin mengarah kepada sustainable finance serta lambatnya pertumbuhan entrepreneur baru maupun sulitnya kenaikan kelas pengusaha ke level usaha besar di Indonesia. Selanjutnya, peralihan ke energi terbarukan juga akan mempengaruhi permintaan terhadap komoditas utama Indonesia.
Menurut Dian, dibutuhkan perubahan ekonomi secara struktural untuk memperkuat ekonomi domestik sehingga pada akhirnya permintaan terhadap kredit juga akan meningkat.
“Ekspektasi penurunan suku bunga global hingga tahun depan juga diharapkan dapat mendorong ketersediaan likuiditas di pasar dan mendorong pertumbuhan permintaan kredit,” ungkap Dian. (*)